Two Days with MATAGIRA




CATATAN PERJALANAN
#EpisodeTepangSonoTutupTaun #EpisodePendakianGunungBurangrang
(24 dan 25 Desember 2015)

Bismilllah,
Pada hari Kamis (24 November 2015) yang bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul-awal kemarin, MATAGIRA mengadakan kegiatan Tepang Sono Tutup Taun 2015 MATAGIRA yang dilaksanakan di kediaman teh Risma yang bertempat di daerah Cisarua, Kabupaten Bandung Barat. Kegiatan tersebut dihadiri oleh 13 orang, diantaranya : saya (Sita), Esa, Zhofa, teh Risma, teh Aan, teh Arni, teh Fifi, teh Ida, teh Novi, kang Cahyana, kang Widi, kang Ipul dan kang Dera. Dalam kegiatan, ini kami banyak berdiskusi terkait agenda terdekat MG yang tidak lain adalah NYALASAR (Nyantri Latihan Dasar) 5 dan Pra-NYALASAR untuk calon anggota MG.
Selain berdiskusi, ada juga acara makan-makan. Tadinya sih mau ngeliwet ala anak MG, mungkin maksudnya mau masak pake nesting dan lain-lain. Tapi, ngga jadi. Jadinya semua makanan dimasak sama yang punya rumah. Alhasil ketika sampai di tempat tujuan, semua masakan sudah jadi. Hatur nuhun ya teh Risma.
Setelah makan-makan, kami berdiskusi kembali untuk menentukan tanggal dan kepanitiaan NYALASAR. Setelah dirasa cukup, kami pun membicarakan tentang fiksasi kegiatan pendakian Gunung Burangrang esok hari. Intinya apakah mau jadi atau tidak. Ternyata banyak yang bisa ikut. Akhirnya diambil keputusan untuk mengadakan kegiatan pendakian Gunung Burangrang hari Jumat ini (25 Desember 2015), pulang-pergi.

Keesokan harinya,
Pagi-pagi sekali saya, Esa, Zhofa, teh Arni, teh Fifi dan kang Cahyana berkumpul di depan selasar Masjid Al-Furqon. Tak lama kemudian, datanglah kang Dera bersama tiga orang kawannya yang berasal dari Tangerang. Sehingga jumlah keseluruhan yang ikut yaitu 10 orang. Sebenarnya sangat disayangkan karena ada dua orang (teh Aan dan teh Risma) yang tidak jadi ikut. Semoga suatu hari ini mereka bisa ikut mendaki !
Sebelum berangkat, ada sedikit sambutan dari Mas’ul MG (Kang Cahyana) dan pengarahan dari Kang Dera. Kang Cahyana dan Kang Dera mengingatkan kepada kami untuk senantiasa menjaga amalan yaumiyah. Walaupun sedang mendaki, kami tetap harus senantiasa mengingat-Nya dan tetap berlomba-lomba untuk meraih ridho serta pahala dari Allah SWT. Sesuai dengan hikayat MG yang ke-2 : “Semakin tinggi gunung yang kau daki, semakin besar pahala yang kau miliki”, insya Allah.
Kami pergi dengan menyewa angkot jurusan parongpong, kemudian berhenti di Masjid Al-Karim untuk menunaikan sholat Dhuha. Masjid ini milik yayasan pondok pesantren Daarut-Tauhid dan digunakan sebagai masjid bagi santri tahfidz ikhwan. Lokasinya sangat bagus dan cocok sekali dipakai untuk menghafal Al-Quran. Dari jendela lantai dua masjid terlihat pemandangan Lembang dan Cisarua yang masih sangat asri, ditambah dengan sejuknya udara pegunungan yang dapat membuat orang nyaman berlama-lama di masjid ini.
Selepas Sholat Dhuha, kami berdo’a sejenak agar dilancarkan dalam perjalanan. Dan dengan mengucap bismillahirrahmaanirrahiim, kami ayunkan langkah-langkah kami mengikuti track pendakian yang tidak jauh dari masjid Al-Karim.
Baru beberapa belas menit, saya mulai merasakan pegal di kaki. Di track ini saya benar-benar harus mengatur pernafasan agar tidak ngos-ngosan. Tahu kan artinya ? kalau tidak tahu, mangga tanyakan saja kepada teman-teman pembaca yang berasal dari suku sunda.
Setelah melewati areal perkebunan dan semak-semak, kami disambut dengan ribuan pohon pinus. Sejuk sekali. Kang Dera memberitahu kami bahwa pucuk pinus muda yang berwarna kehijauan itu dapat dimakan, bahkan dapat dijadikan sebagai obat sakit perut. Masya Allah.
Di sekitar satu jam perjalanan pertama, saya yang berjalan tidak jauh dari teh Arni melihat wajah teh Arni pucat. Sepertinya beliau pusing. Dan benar saja. Tidak hanya pusing, beliau pun mual dan seakan mau jatuh. Ya Allah, teh Arni. Kata teh Arni kemungkinan besar ini karena jarang olahraga, jadi badan teh Arni kaget. Kami-pun akhirnya berhenti dulu.
Beberapa menit kemudian teh Fifi bilang kepada saya, Esa, Zhofa dan kang Cahyana untuk lanjut ke puncak. Teh Arni aman bersama teh Fifi dan kang Dera. Akhirnya kami berempat melanjutkan perjalanan lagi.
Setelah hutan pinus, kami disambut oleh hutan yang terdiri dari banyak pohon. Disana banyak sekali akar-akar yang dapat dijadikan pegangan ketika berjalan di track yang curam. Kami seperti memanjat. Ibarat rock climbing, bedanya ini tidak hanya batuan tapi juga tanah. Meskipun sebagian besar track-nya terjal, kami seringkali menemukan daerah yang cukup lapang sehingga dapat digunakan untuk sekedar melepas lelah.
Pada istirahat yang entah keberapa kami duduk lumayan lama, berselang beberapa menit kemudian teh Arni, teh Fifi, kang Dera bersama tiga temannya datang. Wah, teh Arni keren ! meskipun sempat pusing dan mual tapi beliau tidak menyerah untuk melanjutkan perjalanan, bahkan beliau-pun mampu ‘memanjat’track-track yang curam tadi.
Perjalanan dilanjutkan lagi, kali ini kang Dera memerintahkan saya, Esa dan Zhofa untuk mencari pakis kentang. Saya taunya hanya pakis haji. Ternyata ada juga pakis kentang. Beliau membawa sample pakis kentang, dengan daun-daun yang telah dicabut. Ternyata bentuknya seperti bengkoang. Kami pun berusaha mencari. Dan yang pertama menemukan yaitu Esa, banyak sekali pakis kentangnya. Kami mencoba pakis kentang tersebut. Segar, banyak kandungan airnya.
Pakis kentang merupakan tanaman yang dicari untuk diambil sari airnya agar dapat mengurangi dahaga kita ketika sedang mendaki Gunung Burangrang yang notabene minim sumber air, terutama di sekitar punggung gunung sampai ke puncak. Jadi, ketika kesini kita harus membawa air yang cukup, apalagi jika ingin berkemah.
Setelah beberapa jam mendaki, kami sampai di track yang menurun. Alhamdulillah. Di track ini juga mulai terlihat pemandangan pegunungan dari ketinggian sekitar 1500-2000 mdpl, termasuk pemandangan Situ Lembang yang di artikel yang saya baca disebut-sebut orang sebagai Ranukumbolo-nya Gunung Burangrang.

 


Kami terus berjalan menyusuri jalur yang ada. Lalu, tibalah kami di puncak bayangan. Disana terdapat batu nisan yang bertuliskan MAMAN SUHERMAN, seorang penggiat alam bebas yang dipanggil sang Maha Kuasa di kawasan ini. Katanya batu ini dibuat untuk mengenang yang bersangkutan. 

Tidak sampai lima menit dari puncak bayangan, kami sampai di puncak Gunung Burangrang yang sebenarnya. Ada bangunan tugu dengan tinggi sekitar dua meter yang bertuliskan : “Selamat Datang di Puncak Burangrang, ±2050 mdpl”. Dari sini terlihat hamparan perkebunan, pesawahan, bangunan-bangunan rumah warga yang ada di sekitar Gunung Burangrang serta kota bandung dari kejauhan menjadi lukisan yang sangat cantik. “Maha Suci Allah dengan segala ciptaan-Nya...” Kami tentunya memanfaatkan kesempatan ini dengan berfoto-foto.
 


Setelah puas berfoto-foto, kami makan beberapa makanan ringan dan minum sepuasnya. Kemudian kami istirahat agak lama. Setelah dirasa cukup, kami akhirnya turun dari puncak. Dengan mengambil jalur yang berbeda.
Pada tempat yang rindang kami menyantap makan siang yang kami bawa, lalu kami yang akhwat istirahat sambil mendengar cerita-cerita perjalanan kang Dera. Berbeda dengan sebagian besar ikhwan yang istirahatnya sambil tidur.
***
Adzan dhuhur sudah lama telah berkumandang. Di tanah yang lumayan lapang, tidak jauh dari tempat kami makan. Kami berhenti untuk sholat dhuhur, di jama’ dengan ashar karena khawatir terlalu sore jika menunggu sampai di kaki gunung. Akhwat terlebih dahulu, kemudian ikhwan.
Setelah selesai sholat, akhwat turun duluan. Di jalan ini banyak tanah yang berpasir, sehingga beberapa kali kami ‘sosorodotan’. Seru, hehe
Di jalur pulang, beberapa kali saya menemukan jalan yang terdapat dua sampai tiga pilihan jalan dalam satu jalur. Ini mengingatkan saya dengan track dari Hutan Mati ke Tegal Alun yang ada di Gunung Papandayan, yang hampir satu tahun lalu saya kunjungi. Di satu sisi, saya senang dengan adanya pilihan ini. Kita bisa memilih sesuai kemampuan kita. Namun, di sisi lain saya bingung memilih ketika pilihan-pilihan tersebut sama-sama terjal.
Saya tertinggal cukup jauh dengan teh Fifi dan Zhofa. Jadi, saya harus menentukan sendiri jalan yang akan dilalui karena saya tidak bisa melihat pilihan jalan yang diambil teh Fifi dan Zhofa. Tentunya saya memilih jalan yang paling aman. Biasanya yang lebih aman agak sedikit panjang dibandingkan jalan yang biasa. Hal ini tidak jadi masalah, daripada dipaksakan memilih jalan yang pendek tapi beresiko besar.
*** 
Tibalah kami di padang ilalang, sebutan untuk tempat yang ditumbuhi banyak tanaman ilalang. Kami beristirahat cukup lama.





Perjalanan pulang kembali dilanjutkan. Kami sampai di areal perkebunan warga dan tidak lama kemudian terlihat jalan aspal di desa setempat.
Waktu menunjukkan pukul 16.00 WIB. Perjalanan yang cepat. Padahal di awal diperkirakan bahwa kami akan sampai di desa setempat itu pukul 5 atau 6 sore. Ternyata kurang dari itu.
Senang rasanya, Allah SWT memberikan cuaca yang sangat-sangat mendukung. Cerah sekali. Padahal musim hujan. Jadi, jalurnya tidak seberapa licin.
***
Kami berhenti di sebuah masjid untuk ke toilet. Ikhwan banyak yang jajan dulu di warung yang tak jauh dari masjid. Malah ada yang nge-baso. Wah wah.
Sambil menunggu ikhwan nge-baso, kami yang akhwat membaca dzikir al-matsurat shugra. Kemudian setelah itu kami ditawari buah mangga muda. Asam, tapi enak. Hehe
Kami menyusuri jalanan aspal ini ke arah pasar cisarua. Sambil berjalan, saya ngobrol banyak dengan teh Arni. Bercerita kesana-kemari.
Sampailah kami di pertigaan jalan, ternyata angkot yang disewa sudah sampai. Alhamdulillah.
Kami akhirnya naik angkot dan pulang ke kosan atau rumah masing-masing. Perjalanan yang menyenangkan. Tiga kata untuk perjalanan kali ini : “Cape, tapi Seru”.
MATAGIRA, Dien. Allahu Akbar.
***
Telah sampailah pembaca di penghujung tulisan, terimakasih sudah mau membaca.
Semoga bermanfaat ! 
Salam Lestari !



Referensi :


Jalan menuju puncak

Tugu yang menjadi penanda puncak Gunung Burangrang

MATAGIRA, Dien. Allahu Akbar !

0 Response to "Two Days with MATAGIRA"

Posting Komentar