RA. Kartini, Sang Inspirator Penerjemahan Al-Qur'an dalam Bahasa Jawa



📌
Setiap tanggal 21 April, masyarakat Indonesia memperingati Hari Kartini. Peringatan tersebut sebagai penghormatan atas jasa Kartini dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan dan sebagai spirit serta inspirasi bagi kaum hawa dalam menjalani kehidupannya.

Sosok Kartini sebenarnya bukan hanya sosok seorang wanita pergerakan. Ia juga berjasa menelurkan ide untuk menerjemahkan Al-Quran ke dalam Bahasa Jawa. Sepenggal kisah Kartini terkait kehidupan spiritualnya mungkin selama ini luput dari perhatian masyarakat.

Kartini adalah seorang yang benar-benar merindukan pemahaman mendalam akan agama yang dianutnya yaitu Islam. Ia pernah punya pengalaman tidak menyenangkan saat mempelajari Islam. Ketika Kartini muda, dia juga belajar membaca Al-Qur’an. Namun, tidak memahami apa yang dibacanya. Kartini sangat ingin mengerti isi kandungan Al-Qur’an.

Waktu itu Al-Qur’an tidak diterjemahkan ke dalam bahasa apapun, termasuk bahasa jawa sekalipun. Bahkan Guru ngajinya memarahinya karena dia bertanya tentang arti sebuah ayat Al-Qur’an lalu disuruh keluar ruangan. Sampai akhirnya Kartini tidak mau lagi membaca Al-Qur’an. Menurutnya, mempelajari al-Quran tanpa memahami artinya adalah sesuatu yang tidak berguna. Ia sempat menuliskan pengalamannya yang tidak menyenangkan tersebut di dalam surat yang dikirimnya kepada Stella Zihandelaar pada tanggal 6 November 1899.


‘’Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?’’

Kartini juga mengatakan bahwa *pada masanya Al-Qur'an dianggap terlalu suci sehingga tidak boleh diterjemahkan* ke dalam bahasa apapun agar bisa dipahami setiap Muslim. Ia juga mengatakan bahwa di Jawa tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab, orang belajar Al-Qur'an tapi tidak memahami apa yang mereka baca.

Kekecewaan kartini dengan kejadian yang dialaminya tersebut terobati ketika Kartini bertemu dengan *Kyai Haji Muhammad Sholeh bin Umar* atau yang lebih dikenal dengan Kyai Sholeh Darat. Pertemuan terjadi dalam acara pengajian di rumah pamannya yang merupakan Bupati Demak yaitu Pangeran Ario Hadiningrat. RA Kartini sangat tertarik dengan isi pengajian yang disampaikan oleh Kiai Soleh Darat  yang saat itu membahas tentang tafsir Al-Quran Surah Al-Fatihah. Setelah selesai acara pengajian, Kartini mendesak pamannya agar bersedia menemaninya untuk menemui Kyai Sholeh Darat. Kartini lalu meminta Kiai Sholeh Darat untuk menterjemahkan Al-Qur'an karena menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab suci tapi tidak mengetahui artinya.
Berikut ini dialognya seperti ditulis oleh Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat.

“Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?”

Tertegun Kyai Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu.

“Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh Darat balik bertanya, sambil berpikir kalau saja apa yang dimaksud oleh pertanyaan Kartini pernah terlintas dalam pikirannya.

“Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Qur'an dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

Pada waktu itu penjajah Belanda memang secara resmi melarang orang menerjemahkan Al-Qur’an. Selain itu, para ulama juga mengharamkannya. Kartini telah menggugah kesadaran Kyai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar yaitu menerjemahkan Al-Qur'an ke dalam Bahasa Jawa. Karena permintaan dari Kartini serta panggilan untuk berdakwah, Kiai Sholeh Darat akhirnya memutuskan untuk melanggar aturan Belanda saat itu yang tidak mengijinkan penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa. Untuk menutupinya, Sang Kiai menerjemahkan Al Qur’an dengan menggunakan tulisan “Pegon”. Tulisan “pegon” adalah tulisan dengan menggunakan huruf Arab namun bahasa yang dituliskan adalah bahasa jawa. Kitab tafsir dan terjemahan Qur’an tersebut diberi nama Kitab Faidhur-Rohman. Terjemahan tersebut merupakan tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab.

Pada hari pernikahan Kartini, Kyai Sholeh Darat menghadiahkan kepadanya terjemahan Al-Quran yang terdiri dari 13 juz, mulai dari Surah Al-Fatihah sampai dengan Surah Ibrahim. Hadiah tersebut diberikan sebagai penghargaan dan dengan semangat dakwah Kartini. Sejak itu, Kartini mulai mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya. Tapi sayang, Kyai Sholeh Darat meninggal dunia sebelum menyelesaikan penerjemahan Al-Qur'an ke dalam bahasa Jawa.

Kartini adalah seorang yang benar-benar merindukan pemahaman mendalam akan Islam, agamanya, dalam segala keterbatasan dan kekecewaan yang pernah dialaminya. Al-Qur’an tidak hanya dibaca, tetapi juga dipahami  maknanya dan diamalkan dalam perbuatan. Berbeda dengan masa Kartini, Saat ini terjemahan Al-Qur’an dapat dengan mudah bisa kita dapatkan. Kartini terus berproses menjadikan Al-Qur’an sebagai pimpinan hidupnya. Jika Kartini saja begitu bersemangat, tentu generasi sekarang harus lebih bersemangat lagi. Ini adalah salah satu esensi dari bukti meneladani RA. Kartini, bukan sekedar seremonial belaka tanpa makna.

📚
Sumber :
Klik disini.

0 Response to "RA. Kartini, Sang Inspirator Penerjemahan Al-Qur'an dalam Bahasa Jawa"

Posting Komentar