Illustrasi "Aku Menyenangkan Bagimu" |
π³
Kita selalu bisa tahu, apakah seseorang yang berada di dekat kita merasa nyaman dengan keberadaan kita atau justru menganggap kita sebagai gangguan. Demikian pula orang yang kita
ajak bicara. Mereka memberi isyarat dan tanda dengan bahasa
tubuhnya untuk mengungkapkan ketidaknyamanan itu. Kita selalu
bisa menangkap gejala-gejalanya.
π―
Dalam dekapan ukhuwah, kita kemudian akan tahu diri. Kita
merasa, kitalah masalahnya.
Tetapi bagaimana dengan peran sebaliknya ? Apakah kita juga
pernah merasa tak nyaman dengan kehadiran seseorang di dekat
kita, atau dalam kehidupan ini ? Jawabnya tentu pernah.
❓
Pertanyaan
selanjutnya adalah darimana asal perasaan tak nyaman yang kita
alami ketika berhadapan dengan orang ? Pada umumnya, kita akan
menjawab dalam dua sisi. Bisa dari mereka, dan bisa juga dari diri
kita sendiri.
Saya lebih sering merasakan yang kedua.
π
Gangguan itu berawal dari dalam diri saya, bukan berasal dari
orang-orang yang mendekat ke dalam kehidupan saya, apalagi
sahabat-sahabat tercinta dalam dekapan ukhuwah. Bukan. Sama
sekali bukan dari mereka. Saya betul-betul merasa, gangguan itu ada
di sini, ada dalam diri saya. Ada ketidaknyamanan yang zhohir
sifatnya. Misalnya, saya belum mandi dan belum bersiwak sehingga
khawatir berdekat-dekat akan membuat kawan tak nyaman. Atau
ketika merasa pakaian yang saya kenakan kurang pantas dan baunya
agak apek karena telah berkeringat seharian.
π
Tapi ada yang jauh lebih menghalangi kedekatan dibanding
ketidaknyamanan zhohir, ialah ketidaknyamanan batin terhadap diri
kita sendiri. Kita merasa kotor, berbau, dan kerdil berharapan
dengan saudara seiman. Kita merasa telah terputus dari ikatan cinta
dengan mereka akibat kemaksiatan yang kita lakukan. Ya, itu benar.
π
Saya teringat sebuah hadits yang tercantum dalam al-‘Adabul Mufrod
no. 310 dan al-Musnad V/71.
“Tidaklah dua orang yang saling berkasih sayang karena Alloh
berpisah, kecuali disebabkan oleh dosa yang dilakukan oleh salah seorang diantara keduanya.” (HR. Bukhori dan Ahmad)
π
Awal-awal ketika hati kita masih peka mengenali kemaksiatan
sendiri, kitalah yang merasakan ketidaknyamanan batin. Tetapi jika perilaku dosa itu berlanjut, ketidaknyamanan itu juga akan makin
hebat dan meningkat. Bukan hanya kita yang merasakannya, melainkan juga orang-orang yang kita kasihi. Bisa jadi, kemaksiatan yang
kita lakukan telah membuat Alloh murka, lalu Dia tanamkan rasa benci kepada kita, di dalam hati hamba-hamba yang dicintai-Nya.
Na’udzu billaahi min dzaalik.
π·
Memahami keadaan-keadaan itu, kita menemukan sebuah
kaidah penting dalam dekapan ukhuwah. Bahwa merasa nyaman
dengan diri kita sendiri, akan membantu orang lain untuk bisa
merasa nyaman atas keberadaan kita di dekatnya. Ini berlaku baik
dalam suatu pertemuan singkat, maupun dalam jalinan hubungan
jangka panjang di kehidupan.
π
Tentu saja dalam hal yang zhohir, kita memang perlu
memperbaiki penampilan kita sehingga kita percaya diri dan merasa
nyaman berhadapan dengan sesama. Dalam dekapan ukhuwah,
lihatlah Sang Nabi teladan kita. Penampilannya begitu mempesona.
Pakaiannya yang kebanyakan putih, selalu bersih. Rambutnya
diminyaki. Mulutnya harum. Sela giginya bercahaya. Matanya
bercelak. Wewangiannya semerbak. Beliau nyaman dengan seluruh perangkat zhohir yang beliau kenakan, dan orang-orang pun merasa
nyaman dengan beliau.
π
Dalam hal yang batin, hati pun harus kita percantik agar diri
kita merasa nyaman saat berhadapan dengan saudara-saudara
tercinta. Memperbaiki terus-menerus ketaatan dan hubungan dengan
Alloh adalah kuncinya.
π
Selebihnya, kita memang bukan orang
maksum yang suci dari dosa. Maka berdamailah dengan kesalahan.
Maksudnya tentu bukan menganggapnya sebagai angin lalu. Sikapi
kesalahan dengan sepenuh penyesalan, mohon keampunan dengan
taubat, iringi dengan kebajikan agar tertebus, dan muhasabahkan
agar tak terulang.
Sesudah itu, sahabati nurani kita dengan nasehat tulus dari
saudara-saudara yang mencintai kita karena Alloh. Maka rasa
nyaman pada diri pun hadir, hingga mereka juga merasa nyaman
dengan keberadaan kita.
π
Tentu saja ada cara tertentu untuk membuat orang lain merasa
tentram di dekat kita.
“Orang mukmin itu,” demikian Rosululloh bersabda, “Mudah
akrab dan gampang didekati. Tidak ada kebaikan pada orang yang
tak mudah dekat dan sulit diakrabi.” Al-Haitsami meriwayatkan
hadits ini dalam Majma’uz Zawaaid X/273-274 dan al-Albani menshohihkannya dalam Silsilatu al-Ahaadits ash-Shohihah I/425.
π
Dalam dekapan ukhuwah, kita belajar untuk memiliki
kehangatan semacam ini. Mudah akrab dan gampang dikaribi.
π
Jadikan orang-orang selingkar kita merasa bahwa kita benar-benar
memiliki hati untuk mereka. Itulah kebaikan yang kata Christian
Bovee merupakan bahasa yang bisa dikatakan oleh si bisu, terlihat
oleh si buta, serta bisa didengar dan dimengerti oleh si tuli.
Menjadi orang yang mudah akrab dan gampang didekati
mensyaratkan kita untuk menghargai perbedaan.
➖➖➖
⛅
Akhirnya, mereka yang nyaman diakrabi adalah orang-orang
yang tampil apa adanya.
Mereka tak menyembunyikan sesuatu.
Suasana hati mereka tak banyak dipengaruhi oleh keadaan sekitar.
Mereka bisa diduga.
Mereka gampang didekati sebab orang tahu
tanggapan apa yang akan didapat ketika sesuatu disampaikan.
Mereka menyeimbangkan prinsip ini dengan kepekaannya pada
perasaan sesama.
Mereka tumbuh menjadi orang jujur tanpa menyakiti.
Mereka bisa bicara terbuka tanpa melukai.
❤
Dalam dekapan
ukhuwah, merekalah orang-orang yang gampang didekati, enak
diakrabi, dan nyaman diakrabi.
πΎπΎπΎ
π
dinukil dari buku "Dalam Dekapan Ukhuwah", karya Salim A. Fillah.
0 Response to "Kenyamanan Diri"
Posting Komentar