Ilustrasi |
Dinukil dari tulisannya Ust. Salim A. Fiilah dalam bukunya yang berjudul Dalam Dekapan Ukhuwah.
➖➖➖
🌹
Sungguh, setiap orang ingin hidupnya berarti. Semua orang ingin merasa dirinya penting dan punya makna. Kita pun demikian. Sebab itulah, dalam dekapan ukhuwah, ini berlaku untuk setiap orang, bahkan mereka yang tidak mempertunjukkannya. Mungkin saja, mereka sedang menunggu rangsangan kecil dari kita untuk menjadi seseorang yang hebat. Mari bukakan kesempatan itu dengan mempercayai adanya kebaikan yang tersembunyi. Seperti sebuah kisah masyhur yang terjadi di masa Bani Isroil.
👤
Lelaki itu menyipitkan mata di terjang terik. Kakinya tersaruk seok dalam sengatan pasir. Dia datang dari jauh memikul beban hati yang memayahkan. Perjalanannya melelahkan. Tapi biara yang ditujunya tak jauh lagi. Jalan agak mendaki kini, tapi sekuncup harap telah bersemi di hati.
🚪
Di pintu biara, Rahib ahli badah itu menyambutnya dengan wajah datar. Lisannya terus berkomat-kamit. Rahib itu masuk sebentar dan keluar dengan dua gelas logam di tangannya. Dia letakkan salah satu di hadapan si lelaki, dan gelas lain dia genggam dengan dua tangan. Dihirupnya dalam-dalam aroma yang menguar bersama asap.
👥
“Rahib yang suci,” kata si lelaki. Dia diam sejenak lalu mengunjal nafasnya panjang-panjang. “Mungkinkah dosaku diampuni?”
🍁
Rahib itu tersenyum setengah menyeringai. “Memangnya apa khilafmu ?”
🍃
Agak tercekat dia menjawab. “Aku telah membunuh,” katanya, “Sebanyak Sembilan puluh sembilan jiwa.”
😲
Hampir saja gelas di tangan sang rahib jatuh. Matanya terbelalak dan mulutnya ternganga.
😟
“Mungkinkah dosaku diampuni?” lanjut si lelaki sambil menatap harap-harap. Tangannya cemas menggaruki permukaan gelas logam. Dia lalu menunduk menanti sabda.
🍂
Tetapi Rahib itu memalingkan muka. Rautnya tampak tak suka.
Lelaki itu menangkap mimik jijik di garis-garis wajah sang Rahib.
Sayup dia menggumamkan sebuah ayat dalam Taurot, “Membunuh satu jiwa sama artinya membinasakan seluruh jiwa, memusnahkan segala kehidupan. Sembilan puluh sembilan… Sungguh dosa yang tak terperikan. Tak terampunkan.”
♨
Entah mengapa si lelaki pembunuh tiba-tiba disergap benci yang bergulung-gulung pada si Rahib. Batinnya yang luka dan tersiksa oleh dosa serasa disiram cuka yang memedihkan mendengar gumam itu. Cara Rahib itu memperlakukannya, bersikap, berkata-kata, dan menjawab tanya seolah mereka dibatasi dinding tak tertembus. Si Rahib suci. Tanpa dosa. Dan dia adalah lelaki hina, najis, tak terampuni.
🌋
Sekuncup harap yang tadi bersemi, kini gugur disengat api. Maka sekali lagi syaithon mengalahkannya. Dalam detikan saja, pedangnya telah memenggal si Rahib, membelahnya menjadi dua.
😭
Dan dia disergap sesal yang jauh lebih menyakitkan. Genap sudah seratus nyawa. Darah sang Rahib yang mengalir merah terlihat bagai neraka menyala, siap membakarnya. Dia tergidik. Dia beringsut mundur. Nafasnya tersengal, jangganya terasa tercekik hebat, keringat dinginnya merembesi baju. Dengan tenaga yang dihimpun sepicak-sepicak, dia berlari. Terus berlari.
😳
Untuk beberapa waktu, dia bersembunyi. Tapi dia tahu, yang dia takuti bukan apa yang ada di luar sana. Yang paling menakutkannya ada di dalam dada. Tak tampak. Tak pernah membiarkannya nyenyak. Tak pernah mengizinkannya hening.
😞
Satu hari dia tak tahan lagi. Diberanikannya menemui orang yang dianggapnya mampu memberi jawab gelisah hatinya. Kali ini bukan Rahib yang dipilihnya. Kali ini seorang ‘alim yang didatanginya. Dan lelaki berilmu itu menerimanya dengan senyum tulus.
🌳
“Alloh itu Maha Pengampun, Saudaraku,” ujar sang ‘alim ramah. “Taubatmu pasti diterima. Hanya saja, selain menyesali segala yang telah berlalu dan menebusnya dengan kebaikan-kebaikan, engkau juga harus meninggalkan negeri yang selama ini kau tinggali. Pergilah ke negeri lain untuk memulai hidupmu yang baru. Engkau harus berhijrah.”
🌼
Lelaki pembunuh itu, kita tahu, benar-benar berhijrah. Tapi dia mati di perjalanan. Dan malaikat rohmat pun memenangi perdebatannya dengan malaikat adzab. Sebab ketika diukur jaraknya, lelaki itu sejengkal lebih dekat ke arah negeri pertaubatannya. Dia benar-benar telah meninggalkan kejahatan, meski baru sejengkal. Maka Alloh memerintahkan agar dia dibawa ke surga.
➖➖➖
Masyaa Allah
0 Response to "Pentingnya Respon yang Baik"
Posting Komentar