Keagungan Jiwa



Tulisannya Ust. Cahyadi Takariawan, diambil dari materi Kuliah Subuh Hari ke-5 Ramadhan yang beliau tulis.

💖💖💖

Jiwa yang agung, adalah jiwa yang selalu bergantung kepada Dzat Yang Maha Agung. Mereka tidak bergantung kepada makhluk, tidak bergantung kepada materi, tidak bergantung kepada kekuasaan maupun jabatan.

Kegembiraannya, kesedihannya, semangatnya, kesungguhannya, semua untuk dan karena Dzat Yang Maha Mulia. Bukan untuk dan karena manusia.

Jiwa yang kerdil, adalah jiwa yang tertutup dari kebenaran dan kebaikan hakiki, karena selalu berorientasi duniawi. Mereka bergantung kepada materi, jabatan dan posisi.

Kegembiraannya, kesedihannya, semangatnya, kesungguhannya, semua untuk dan karena manusia. Karena mengejar materi, karena mengejar posisi, karena mengejar reputasi, karena ambisi popularitas dan Kegembiraannya, kesedihannya, semangatnya, kesungguhannya, semua untuk dan karena Dzat Yang Maha Mulia. Bukan untuk dan karena manusia.

Gambaran jiwa besar, diantaranya tampak dalam hadits berikut ini. Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw bersabda:

“Harta tidak akan berkurang karena sedekah. Tidaklah seorang hamba memberikan maaf (terhadap kesalahan orang lain) melainkan Allah pasti akan menambahkan kemuliaan pada dirinya. Dan tidaklah seorang pun yang bersikap rendah hati (tawadhu’) karena Allah melainkan pasti akan diangkat derajatnya oleh Allah.” Hadits Riwayat Imam Muslim.

Manusia yang berjiwa besar akan mudah bersedekah. Mereka yakin, sedekah akan menambah keberkahan pada harta. Bagi mereka, kebahagiaan adalah dengan banyak berbagi.

Manusia berjiwa kerdil akan bersikap pelit, mereka menganggap bersedekah berarti mengurangi harta kekayaan mereka. Bagi mereka, bahagia adalah dengan menumpuk banyak materi.

Manusia berjiwa besar akan bersikap rendah hati (tawadhu). Mereka yakin, dengan merendah justru akan mengangkat derajat mereka ke posisi yang tinggi. Sebagaimana pesan KH. Rahmat Abdullah:

“Merendahlah, engkau kan seperti bintang gemintang. Berkilau dipandang orang di atas riak air dan sang bintang nun jauh tinggi. Janganlah seperti asap yang mengangkat diri tinggi di langit padahal dirinya rendah hina”.

Manusia berjiwa besar justru tidak suka membanggakan diri, apalagi berlaku sombong dan angkuh. Mereka mematuhi ayat ini:

”Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman: 18).

Hanya manusia berjiwa kerdil yang berlaku sombong, berwatak angkuh, merasa diri paling hebat, merasa diri paling pintar, merasa diri sempurna. Menganggap orang lain hanyalah sampah atau buih.

Menganggap orang lain hina dina. Mereka seperti katak dalam tempurung, merasa hebat dalam batasan dunia yang sangat sempit. Terkurung oleh kepicikan jiwa yang tak mau dikalahkan orang lain.

Manusia berjiwa besar tidak menjadi takabur karena pujian orang lain, juga tidak menderita karena celaan. Oleh sebab itu, tatkala seorang murid mengabarkan kepada Imam Ahmad mengenai pujian orang-orang, beliau pun berkata:

“Wahai Abu Bakar --nama panggilan murid tersebut--- apabila seseorang telah mengenal jati dirinya, maka tidak lagi bermanfaat ucapan (pujian) orang lain terhadapnya.”

Manusia berjiwa besar sangat mudah memaafkan kesalahan orang lain, tidak pendendam. Mereka yakin bahwa dengan memaafkan kesalahan orang lain, maka Allah akan memuliakan mereka.

Bagi mereka, memaafkan adalah kemuliaan. Manusia berjiwa kerdil menganggap memaafkan adalah perbuatan orang kalah dan merendahkan martabat. Bagi mereka, memaafkan akan membuat mereka tampak lemah dan tak berdaya.

Imam Ahmad bin Hambal pernah mengalami siksaan yang hebat dalam penjara. Saat itu penguasa memaksa Imam Ahmad mengatakan “Al Quran adalah makhluk”, padahal Al Quran bukan makhluk akan tetapi kalam Allah. Beliau marah bukan untuk hawa nafsunya, akan tetapi marah karena adanya pelecehan terhadap kalam Allah Ta’ala.

Lihatlah keagungan jiwa beliau saat beliau menyatakan, ”Semua yang pernah membicarakanku maka semua halal dan aku maafkan. Dan akupun memaafkan Abu Ishaq (Raja Mu’tashim yang telah memenjarakan dan menyiksa beliau).”

Imam Ahmad mengatakan, “Aku maafkan Abu Ishaq, sebab aku melihat firman Allah Ta’ala : Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?” (QS. An Nuur: 22). Subhanallah, betapa mulia jiwa beliau.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah divonis kafir dan difatwakan halal darahnya oleh para ulama waktu itu. Beliau dimasukkan penjara dan disiksa. Salah satu musuh beliau adalah Ibnu Makhluf. Ia wafat pada masa Ibnu Taimiyah masih hidup.

Ibnul Qayyim Al Jauziyah ---salah satu murid Ibnu Taimiyah--- mengetahui kematian Ibnu Makhluf, bersegera menemui sang guru untuk menyampaikan ‘kabar gembira’ ini.

Syaikhul Islam sempat menghardik Ibnul Qayyim karena menyampaikan kegembiraan atas kematian musuh beliau, justru beliau mengucapkan kalimat istirja’, “inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’un”. Beliau bersegera mengunjungi rumah Ibnu Makhluf, berta’ziah dan menyampaikan kepada keluarga Ibnu Makhluf:

“Sungguh saat ini status saya seperti bapak bagi kalian. Tidak ada sesuatu pun yang kalian butuhkan melainkan aku akan berusaha memenuhi kebutuhan kalian.” Perhatikan kebesaran jiwa beliau. Syaikhul Islam rahimahullah mendatangi rumah orang yang telah memfatwakan dirinya kafir, dan bahkan menyantuni keluarganya.

Saat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sakit menjelang wafatnya di dalam penjara, beliau dilarang melakukan seluruh aktivitas hingga tidak diberikan pena untuk menulis. Namun beliau tetap menulis dengan menggunakan arang, untuk memberi fatwa kepada kaum muslimin, hingga akhirnya beliau dilarang menulis sama sekali.

Suatu ketika sebagian orang mendatangi Syaikhul Islam di dalam penjara, untuk memohon maaf lantaran menjadi sebab Syaikul Islam dijebloskan dalam penjara.

“Aku telah maafkan kalian. Aku juga sudah memaafkan Raja Nashir yang memenjarakan aku”. Beliau memaafkan orang yang memasukkan beliau ke dalam penjara, serta semua orang yang menjadi sebab beliau masuk penjara. Subhanallah, betapa agung jiwa beliau.

Tindakan seperti ini tidak akan terjadi pada mereka yang berjiwa kerdil. Manusia berjiwa kerdil akan melakukan pembalasan dan mengekspresikan dendam kesumat dengan sepenuh nafsu. Mereka tidak akan puas sebelum musuh dihinakan, direndahkan dan dihancurkan sehancur-hancurnya.

Sangat berbeda dengan mereka yang berjiwa besar, yang memiliki plafon jiwa sangat luas dan sangat tinggi. Daya permaafan (forgiveness) mereka sangat besar untuk memaafkan kesalahan musuh sekalipun.

Hanya manusia berjiwa besar yang akan memiliki keagungan dan kebesaran. Bukan karena harta, bukan karena gelar, bukan karena pangkat, bukan karena jabatan dan kedudukan, namun karena jiwa yang teramat mulia. Mereka dimuliakan Allah di langit dan di bumi.

Sebagaimana kemuliaan Nabi Agung Muhammad Saw. Tanpa titel, tanpa gelar kesarjanaan, bahkan disebut sebagai “ummi”, namun kemuliaan beliau tak tertandingi.

0 Response to "Keagungan Jiwa"

Posting Komentar